Kamis, 27 Maret 2008

PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP



“Yesss … I Got You !” , Itulah cuplikan kalimat yang diucapkan seorang bocah bernama Kevin dalam film komedi anak-anak ”Home Alone” ketika ia berhasil mengelabui kawanan perampok dengan memanfaatkan video film koboi, cat , tali, dan sebagainya. Kalimat tersebut bagi kita sangat sederhana dan bahkan tidak bermakna, namum lain bagi bocah Kevin , bahwa kalimat tersebut sarat dengan makna karena pada tingkat usianya dengan segala keterbatasannnya itu ia sudah dapat memecahkan suatu problem secara cermat, cerdas dan kreatif, terlepas dari perdebatan nilai dan norma serta keyakinan budaya yang menyertai cara Kevin dalam memecahkan problema tersebut.


Ha...ha...ha.... , emang konyol dan lucu sekali , bagaimana Kevin dengan kelucuan , keluguan, dan batasan berpikir sebagai seorang yang masih bocah dalam menghadapi kawanan perampok itu . Namun, apakah kita hanya melihat dari sudut pandang kekonyolan dan kelucuan seorang bocah saja ? atau kemudian timbul dalam benak kita sebuah pemikiran bagaimana cermat dan cerdasnya seorang bocah kevin dalam mengatasi problem sesuai dengan batasan ia sebagai seorang bocah yang lucu dan lugu.

Dengan merenungkan kilasan ilustrasi di atas , akhirnya kita akan sampai pada suatu kesadaran kembali bahwa dalam kehidupan setiap orang , di mulai sejak kecil , ia akan selalu menghadapi masalah , dan kebanyakan masalah itu harus dipecahkan dan dijawab secara kreatif dengan menggunakan berbagai serana dan situasi yang dapat dimanfaatkan.

Kemampuan seperti inilah sebetulnya merupakan salah satu inti dari kecakapan hidup (Life skills), dan intensitas kecakapan hidup ini semakin hari semakin diperlukan oleh seseorang di manapun ia berada, baik bekerja atau tidak bekerja dan apapun profesinya.

Usaha peningkatan pendidikan dengan memberi bekal kecakapan hidup sejak dini bagi peserta didik sangat diperlukan, untuk menghadapi jenjang pendidikan selanjutnya dan dunia kerja, maka pendidikan perlu dikembalikan kepada prinsip dasarnya, yaitu upaya untuk humanisasi; mengembangkan potensi peserta didik agar berani dan mau menghadapi problema tanpa rasa tertekan; mampu dan trampil dalam memecahkan dan mengatasi berbagai problem.

Pada dasarnya Pendidikan Kecakapan Hidup bertujuan mengembangkan potensi peserta didik yang merupakan filosofi pendidikan sebenarnya. Secara khusus Pendidikan Kecakapan Hidup (life skill) bertujuan untuk:
1.mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan
untuk memecahkan problema yang dihadapi;
2.memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan
pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan
berbasis keluasan (broad based education), dan
3.mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya di lingkungan sekolah,
dengan memberikan peluang pemanfaatan sumberdaya yang ada di masyarakat, sesuai
dengan prinsip manajemen berbasis sekolah (school-based management).

Manfaat Pendidikan Kecakapan Hidup bagi peserta didik adalah sebagai bekal dalam menghadapi dan memecahkan problema hidup dan kehidupan, baik sebagai pribadi yang mandiri, warga masyarakat dan warga negara.
Sementara itu bagi kalangan pendidikan maupun masyarakat luas dapat memahami konsep kecakapan hidup dan menerapkannya sesuai prinsip pendidikan berbasis keluasan (broad based education).
Sebagai suatu konsep, pendidikan kecakapan hidup tentu terbuka dan memang akan terus berkembang, namun dengan adanya penjelasan ini, paling tidak semua pihak terkait dapat menyamakan persepsi tentang apa itu kecakapan hidup (life skill), pendidikan kecakapan hidup serta pendidikan berbasis keluasan (broad based education) dan pendidikan berbasis masyarakat (community-based education).


KONSEP DASAR KECAKAPAN HIDUP (LIFE SKILL)
Kecakapan hidup adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani meghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasi dan menjawab problema.
Kecakapan hidup (life skill) lebih luas dari keterampilan untuk bekerja, apalagi sekedar keterampilan manual. Orang yang tidak bekerja, misalnya ibu rumah tangga atau orang yang sudah pensiun pun tetap memerlukan kecakapan hidup karena akan tetap menghadapi berbagai masalah yang harus dipecahkan. Orang yang sedang menempuh pendidikan juga memerlukan kecakapan hidup, karena mereka tentu juga memiliki permasalahan yang harus dipecahkan. Bukankah dalam hidup, dimanapun dan kapanpun orang selalu menemui masalah yang harus dipecahkan?

Kecakapan hidup dapat dikategorikan menjadi lima, yaitu:
a.kecakapan mengenal diri (self awarness),
yang juga sering disebut kemampuan personal (personal skill);
b.kecakapan berpikir rasional (thinking skill);
c.kecakapan sosial (social skill)
d.kecakapan akademik (academic skill), dan
e.kecakapan vokasional (vocational skill)

Selasa, 25 Maret 2008

Competency Based Human Resources Management


Bidang sumber daya manusia, dalam beberapa tahun ke belakang ini mulai mendapatkan perhatian yang serius dari jajaran direksi perusahaan. Departemen sumber daya manusia mulai diposisikan sebagai unit strategis yang turut menentukan arah dan kebijakan yang ditempuh oleh perusahaan. Kecenderungan baru ini berkembang dengan suatu kesadaran mengenai fungsi sumber daya manusia sebagai the man behind the gun bagi setiap bentuk kebijakan perusahaan. Kualitas sumber daya manusia yang ada di suatu perusahaan akan menentukan kualitas kebijakan yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut, yang pada akhirnya menentukan pula kualitas dan daya saing perusahaan. Oleh karenanya menempatkan departemen sumber daya manusia sebagai unit strategis telah muncul sebagai suatu kebutuhan.

Hanya saja, pembenahan atau pemberdayaan terhadap departemen sumber daya manusia di suatu perusahaan seringkali dirasakan belum memberikan hasil yang optimal bagi pemberdayaan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Program-program pengelolaan sumber daya manusia yang diimplementasikan seringkali terkesan artifisial dan tidak menyentuh inti permasalahan yang sebenarnya terjadi di organisasi. Pembenahan atau pemberdayaan di bidang sumber daya manusia seringkali dilakukan tanpa dilandasi suatu strategic grand scenario yang jelas. Alhasil, banyak perusahaan yang telah mengalokasikan waktu, tenaga, serta dana yang tidak sedikit jumlahnya ke dalam program-program seperti: pelatihan dan pengembangan karyawan (training and development), assessment, maupun instalasi program Human Resources Information System, mendapatkan hasil yang mengecewakan.

Competency-Based Human Resources Management (CBHRM) adalah suatu pola pendekatan di dalam membangun suatu sistem manajemen sumber daya manusia yang handal dengan memanfaatkan kompetensi sebagai titik sentralnya. Hal ini dimaksudkan agar perusahaan dapat meningkatkan efektifitas dan konsistensi kebijakan seleksi, promosi, kompensasi, penilaian kinerja, pendidikan dan pelatihan, perencanaan karir, manajemen kinerja, maupun perencanaan strategis di bidang sumber daya manusia ke titik yang paling optimum.

Kompetensi adalah atribut individu (pengetahuan, pengalaman, keterampilan, keahlian, sikap) yang diperlukan untuk dapat melaksanakan pekerjaan dan terkait dengan performansi seseorang pada pekerjaan tersebut. Kompetensi muncul dalam bentuk perilaku kerja yang dapat diukur / diperbandingkan dengan suatu standar obyektif, serta dapat ditingkatkan melalui pelatihan maupun program pengembangan lainnya.

Dengan memanfaatkan kompetensi sebagai basis kebijakan operasional maupun manajerial di bidang sumber daya manusia, perusahaan akan memiliki kriteria yang jelas dan relevan dengan kepentingan bisnis perusahaan sebagai panduan di dalam melaksanakan berbagai kebijakan terkait di bidang sumber daya manusia. Bila dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen, implementasi CBHRM akan membentuk budaya kerja yang mendorong peningkatan kompetensi sumber daya manusia secara berkelanjutan, sehingga pada gilirannya akan meningkatkan kompetensi dan daya saing perusahaan.

Sabtu, 15 Maret 2008

FENOMENA OPTIK : HALO



Halo adalah fenomena optik berupa lingkaran cahaya di sekitar Matahari atau Bulan.
Fenomena Halo matahari adalah lingkaran mirip pelangi yang mengelilingi matahari. Halo muncul saat cahaya matahari mengenai awan sirrus yang tinggi dan berisi banyak es, serta mengalami defraksi sehingga membentuk sebuah cincin cahaya. Halo adalah fenomena yang jarang terjadi di daerah tropis. Di benua Eropa dan sebagian benua Amerika sering terjadi dan dapat dilihat secara langsung dua kali seminggu. Halo pernah terjadi di kota Bandung, Indonesia pada pukul 10.00 pagi hingga 13.30 siang, tanggal 27 September 2007. Terakhir kali, fenomena ini terjadi di Makassar pada 29 Oktober 2007.

Pada umumnya halo melibatkan putaran radius 22° halo dan sundogs (Parhelia). Dalam gambar yang menunjukan matahari di kelilingi oleh 22° halo dan dilambungi (sisi) oleh sundogs. Parhelic circle adalah biasan cahaya kristal yang melapisi sundogs dan mengelilinginya. Kadangkala ia melapisi keseluruhan ruang langit dalam ketinggian yang sama dengan matahari. Pembinaan tangen ketinggian dan rendah (Upper Tangent arc and Lower Tangent arc) menyentuh secara terus dengan 22° halo sama ada di atas atau dibawah matahari. Pembuatan Lengkungan (Circumzenithal arc) akan terjadi di atas kristal tersebut.

Radius 22° gerhana matahari tidak kelihatan. Ia seperti helaian yang berlapis-lapis pada permukaan awan cirrus yang tipis. Awan ini sejuk dan mengandungi air kristal walaupun pada iklim yang sangat panas.
Halo selalu mempunyai diameter yang sama dalam posisinya di langit. Kadang-kadang hanya sebagian saja yang muncul. Semakin kecil cincin cahaya yang terbias muncul mengelilingi matahari atau bulan dihasilkan oleh korona dari lebih banyak tetesan air daripada dibiaskan oleh kristal es. Halo tidak berkaitan bahwa hujan akan turun.
Apabila ingin melihat halo pastikan kedua mata anda dilindungi dari pancaran matahari. Jangan sesekali memandang terus dan lama pada halo. Sembunyikan matahari dari penglihatan di balik kacamata hitam, bangunan atau apa-apa saja. Berhati-hati apabila mengambil gambar halo tanpa pelindung matahari. Halo sangat berbahaya untuk pengambilan gambar terus terutama dengan mengunakan kamera SLR. source: http://www.bpkpenabur-bdg.sch.id/science.htm

Rabu, 12 Maret 2008

Business : Sustainable Development


The most widespread, common meaning for the terms “sustainability” and “sustainable development” come from the Brundtland Commission Report from the United Nations. According to this report, sustainable development "meets the needs of the present generation without compromising the ability of future generations to meet their own needs" (Brundtland Commission 1987).

In the ensuing twenty years since this definition has been introduced, many people and organizations have explored what it means. Complexities abound in terms of the choices that individuals, corporations, governments, and other organizations need to make from this perspective. For example, just asking the question, “how far into the future do we need to project in order to consider the needs of future generations?” is inherently complex. Such choices inherently affect the autonomy and well-being of those who come after us as well as those of us who are here now.

Despite these complexities, pragmatic approaches that embrace the notion of sustainability are being brought to fore by people, all types of companies, organizations, and governments because doing well by doing right is its promise. For example, we see that consumer preferences are lining up to favor companies that are good stewards of people and community, the environment and profits. Good stewards of all three of these concepts are following a triple bottom-line approach to sustainable development.

Sustainable development has emerged as a way of thinking and pursuing innovation that continually asks questions, connects the dots, and makes course corrections to make things better today and over the long haul. Such a process involves understanding how things work and how they are connected. This requires a systems approach to finding problems and lasting solutions. Systems approaches look for how our lives have rich interconnections with economic, environmental, and social factors, and then finding ways of integrating these interconnections in new ways that encompass a balance among them. As a result, the process of sustainable development takes hold where economic, social equity, and environmental needs are simultaneously addressed.

Frequently, the term “sustainability” gets mistakenly associated with notions of environmental performance, exclusive of economic and social considerations. This situation comes about because environmental considerations in the past have been an underappreciated aspect of the systems that support our lives. Everything we know, use, and consume ultimately comes from nature. Our world economy relies entirely on natural capital: sunlight, wood, oil, water, oxygen, carbon dioxide, nitrogen, plants, animals, soil, metals, and many other things. Because of this foundation of our economy, we are able to organize ourselves in wonderfully diverse and rich societies all around the globe. Nature truly remains at the core in the pursuit of sustainable development.

The Native American credo of "don't eat your seed corn,” Dr. Seuss' (1971) The Lorax, and William Forster Lloyd's (1833) “Tragedy of the Unregulated Commons” also illustrate dimensions of sustainable development. For the first item, obviously if someone consumed the seed needed for next year’s planting, today’s small meal comes at the expense of being able to produce food entirely in the future. In The Lorax, deforestation and devastation remain once all of the resource trees are removed for consumption without planning for their replenishment. The commons metaphor describes a pasture shared by local herders who want to maximize their yield and so will increase their herd size whenever possible. The dilemma is that as each herder individually gains as each grazing animal is added, the pasture is slightly degraded. The situation illustrates how it is easy to be caught in an individual race to accumulate the most before overgrazing collapses the whole resource for all other herders. All three clearly illustrate examples that are not sustainable.

What are some systems level issues that jeopardize the commons? Consider Jared Diamond's book, Collapse (2005) that identifies five factors that contribute to collapse of a civilization: climate change, hostile neighbors, trade partners or outside sources of essential goods that go sour, environmental problems, and, finally, a society's response to its problems. The first four may or may not prove significant in each society's demise, Diamond claims, but the fifth always does. The salient point, of course, is that a society's response to environmental problems is completely within its control, which is not always true of the other factors. In other words, as his subtitle puts it, a society can choose to succeed or fail.

Sabtu, 08 Maret 2008

Konstruksi Aneh

Adakah yang dapat membangun konstruksi bangunan
sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini ?


Ilusi Optik


Apakah Anda melihat gambar roda di atas berputar ?


Ilusi optik adalah ilusi yang terjadi karena kesalahan penangkapan mata manusia. Ada anggapan konvensional bahwa ada ilusi yang bersifat fisiologis dan ada ilusi yang bersifat kognitif.

Ilusi fisiologis
Ilusi fisiologis, seperti yang terjadi pada afterimages atau kesan gambar yang terjadi setelah melihat cahaya yang sangat terang atau melihat pola gambar tertentu dalam waktu lama. Ini diduga merupakan efek yang terjadi pada mata atau otak setelah mendapat rangsangan tertentu secara berlebihan.

Ilusi kognitif
Ilusi kognitif diasumsikan terjadi karena anggapan pikiran terhadap sesuatu di luar. Pada umumnya ilusi kognitif dibagi menjadi ilusi ambigu, ilusi distorsi, ilusi paradoks dan ilusi fiksional.
(a). Pada ilusi ambigu, gambar atau objek bisa ditafsirkan secara berlainan.
(b). Pada ilusi distorsi, terdapat distorsi ukuran, panjang atau sifat kurva (lurus lengkung).
(c). Ilusi paradoks disebabkan karena objek yang paradoksikal atau tidak mungkin
(d). Ilusi fiksional didefinisikan sebagai persepsi terhadap objek yang sama sekali berbeda bagi seseorang tapi bukan bagi orang lain, seperti disebabkan karena schizoprenia atau halusinogen.

Kamis, 06 Maret 2008

Movie:The Substitute



Synopsis:The Substitute
An ex-mercenary (Tom Berenger) becomes a take-no-prisoners teacher in a drug-ridden, gang-infested Miami high school in this campy morality tale about restoring lost American virtues to the inner city. Berenger's character, Shale, has no first name, a shadowy past as a patriotic gun-for-hire, and is temporarily unemployed and living with an idealistic teacher, Jane Hetzko (Diane Verona). Jane has angered a school gang leader, Juan Lucas (Marc Anthony), by asking the principal to get him transferred after he has threatened her in the schoolyard. After Jane is kneecapped by a gang member, Shale fakes a resume and becomes a substitute teacher, Mr. Smith. He lectures his class on the lessons of Vietnam ("We were fighting Communism") while looking for a way to get revenge on Juan. When he challenges the school's tolerance for student misbehavior, Smith is fired by the slimy principal, Claude Rolle (Ernie Hudson), an ex-cop who is running for City Council and doesn't want to rock the boat. Shale stays because he cites a union rule requiring two weeks' notice. During that period, tensions escalate and eventually Shale intervenes in a gang war that degenerates into a school-destroying inferno of violence.

Selasa, 04 Maret 2008

Organizational Cultural Change In Technological Innovations


In the last decade, competitors of an organization were the organizations operated in the same industrial sector and geographic region. Yet, in today’s business world, the situation is changed. Organizations are competing with competitors around the world. The geographical boundary is tended to be relegated, inasmuch as the profound effect on the use of technologies. Organizations have to improve their efficiency and shorten their response time to markets. It is widely accepted that technological innovations are providing guidance to organizations to achieve their goals. In fact, cultural inertia makes organizations fail to defend themselves against competitors and result in profits erosion. A past study has consolidated an extensive list of critical organizational culture factors and identified relationships between the critical culture factors and innovativeness of organizations.